Apakah Manusia Benar-Benar Memerlukan Kemajuan Teknologi?

Author: Naufan Rusyda Faikar

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan teknologi membawa pelbagai manfaat hampir di semua bidang—kalau tidak bisa dikatakan semua. Terutama bagi kita atau mayoritas yang tinggal di kota, lulusan sarjana atau sekolah kejuruan, memiliki beberapa klien mancanegara, atau setidak-tidaknya cukup melek teknologi, kita bisa dengan mudah mengaminkan pernyataan tersebut. Saya sendiri sebagai lulusan ilmu komputer dan sudah beberapa tahun berkarier sebagai programmer, saya tidak pernah lepas satu hari pun dari komputer dan internet.

Kita sangat menikmati dunia maya ini yang tidak berwujud dan penuh abstraksi, namun bisa membantu bisnis manapun berekspansi ke skala yang belum pernah terbayangkan pada abad sebelumnya. Tempat di mana semua hal di dalamnya mustahil untuk bisa dimengerti secara penuh, namun pada saat yang sama pengertian itu hampir sama sekali tidak dibutuhkan untuk kita bisa tinggal di dalamnya.

Satu hal yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan para pebisnis ketika ingin memulai suatu bisnis baru yaitu membopong bisnis teknologi apa yang bekerja di luar negeri, khususnya di negara-negara di benua Eropa, ke nusantara. Strategi ini masih menjadi primadona di sini seperti yang banyak diajarkan di seminar-seminar dan mudah ditemukan di buku-buku bisnis lokal. Sebab faktanya, Indonesia masih ketinggalan bertahun-tahun dalam hal kemajuan teknologi ketimbang negara-negara maju yang bahkan masih di benua yang sama dan bertetanggaan dengan kita.

Terlepas dari keinginan dan perjuangan kita selama ini untuk mencapai Indonesia yang lebih maju, pernahkah bertanya-tanya apakah kemajuan teknologi adalah sesuatu yang sangat kita perlukan? Sesuatu yang sangat kita harapkan bisa menjawab berbagai persoalan bangsa hari ini dan ke depannya? Sesuatu yang tidak hanya bisa mendukung peran Indonesia dalam ekonomi dan politik global, namun juga memberikan kekuatan dan perlindungan bagi seluruh warganya? Sesuatu yang bisa mem­pertahan­kan posisi kita sebagai negara yang paling dermawan di dunia, sebagai negara yang orang-orangnya dikenal sangat ramah menurut para turis dari luar negeri? Apakah Indonesia akan tetap menjadi Indonesia setelah nanti dinobatkan sebagai negara maju? Boleh saja kalau menjadi Indonesia yang baru. Tapi bagaimana kalau bukan lagi Indonesia?

Kalau kita mau membaca cerita-cerita zaman dulu, mungkin puluhan ribu tahun sebelumnya, kita akan terbayang betapa sederhananya kehidupan di masa lalu. Terkadang bahkan bisa membuat iri. Dahulu belum ada yang namanya kredit pemilikan rumah, sebab manusia masih suka berpindah-pindah. Mereka dengan bebas bisa memetik buah-buahan dan tanaman-tanaman obat apa saja yang terlewati selama perjalanan menemukan tempat hunian sementara yang baru tanpa dikenai pajak berupa uang. Mereka mungkin hanya perlu cukup terpelajar untuk bisa mengalahkan raja rimba—atau bahkan sekadar tahu cara melarikan diri—, cukup cekatan dalam berburu dan memancing, cukup pandai dalam menghindari jamur-jamur beracun, serta cukup mahir dalam meneliti obat-obatan herbal. Tentu saja semua itu tidak dibebankan kepada masing-masing orang; karena manusia hidupnya dari dulu sudah berkelompok, semua peran itu terbagi-bagi.

Siapa yang paling kuat fisiknya, dialah yang dikenakan kewajiban moral untuk melindungi kelompoknya. Sebagai gantinya, orang-orangnya akan bersedia memberikan kesempatan baginya untuk mengambil bagian daging buruan mana yang dia inginkan, juga mungkin perempuan mana yang ingin dia nikahi. Hubungan timbal-balik yang sangat sederhana. Filosofi slow living saya yakin belum pernah terpikirkan oleh mereka. Perang antar kelompok mungkin tidak pernah terbayangkan, kecuali antar para kanibal. Masing-masing sibuk dengan rutinitasnya berburu, berpindah tempat, mengajari anak-anak laki-lakinya untuk berburu dan berkelahi, serta anak-anak perempuannya untuk memasak dan "menjahit" pakaian dari kulit binatang.

Salah satu teknologi yang paling cemerlang saat itu adalah kapak genggam dan sejenisnya yang serbaguna—bisa digunakan untuk berburu, memasak, dan mengulek tanaman obat, juga mungkin membunuh orang. Kapak genggam tidak mungkin hadir begitu saja, pasti ada masalah dari kehidupan tanpa alat-alat tersebut. Mereka memerlukannya. Hanya saja mungkin tidak cukup jelas bagi saya dan orang-orang modern. Yang jadi pertanyaan sekarang ini kan apakah mereka benar-benar memerlukan­nya? Atau sekadar menginginkannya?

Tentu saja teknologi kapak genggam mengubah segalanya. Berbagai masalah bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih mudah. Kecuali masalah baru yang muncul, yaitu membuat kapak genggamnya itu sendiri. Bukan proses mengasahnya saja yang menjadi perkaranya, melainkan juga proses menemukan batu asahannya dan batu yang akan diasahnya. Teknologi menyelesaikan masalah-masalah lama, pada waktunya juga menimbulkan masalah yang tadinya tidak pernah ada. Yang jelas, masalah baru ini bukan menjadi masalah bagi semua orang, dengan kata lain hanya menjadi masalah bagi orang-orang yang berperan membuat kapak genggam dengan asumsi bahwa tidak semua orang membuat kapaknya sendiri. Anggaplah memang seperti itu adanya, artinya ada permintaan dan pemenuhan baru yang terbentuk—tidak lain tidak bukan terciptanya ekonomi baru! Kesempatan baru untuk hidup yang lebih efisien, keluasaan baru untuk mengambil peran dalam kelompok yang lebih bervariasi, dan tantangan baru untuk memikirkan teknologi yang lebih canggih.

Terlepas dari apakah manusia memerlukannya atau sekadar menginginkannya—pertanyaan yang lebih mungkin mudah dijawab oleh kajian ekonomi perilaku yang menilai bahwa manusia bukan makhluk ekonomi—, kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Sementara teknologi terus berkembang, satu pertanyaan yang masih mengusik benak kita: apa yang mengilhami mereka untuk membuat kapak genggam? Jauh sebelum dunia sesibuk dan waktu bergerak secepat sekarang, manusia sangat dekat dengan alam. Mereka sehari-harinya berinteraksi dengan alam, belajar dari alam, dan bereksperimen dengan benda-benda yang terdapat di alam—kegiatan-kegiatan yang kemudian melahirkan hukum-hukum yang menjadi dasar segala teknologi masa kini. Mereka secara tidak sengaja menemukan batu-batu yang cukup nyaman digenggam, yang di satu sisinya cukup runcing untuk digunakan dalam kegiatan berburu dan memasak. Orang lain mungkin melihatnya atau orang itu sendiri yang menyebut-nyebutnya, lalu tersebarlah berita itu dengan cepat kepada semua orang. Persis seperti yang terjadi pada zaman setelahnya dan bahkan pada zaman sekarang sama sekali.

Teknologi membawa pergi manusia dari kapak-kapak genggam kepada batu-batu yang lebih halus seperti flakes, dari kegiatan nomaden ke tempat-tempat tinggal tetap yang melindungi mereka dari cuaca buruk dengan lebih baik, dari rutinitas berburu setiap hari menjadi kegiatan bercocok tanam dan beternak, hingga pada satu masa dalam sejarah mereka mampu membangun candi, menhir, dan juga piramida. Di sisi lain, teknologi membawa pergi manusia dari perkelahian jarak dekat dengan satu orang ke pengemboman menggunakan drone yang melibatkan ratusan ribu jiwa, dari menikam orang dengan pedang menjadi membunuh dengan cyber bullying, dari perebutan tahta kepala suku menggunakan otot menjadi perebutan kursi anggota DPR menggunakan otak, hingga pada satu waktu di masa depan semua orang menggunakan kursi roda seperti yang digambarkan oleh film Wall-E. Sekali lagi, apakah manusia benar-benar memerlukan kemajuan teknologi?

Sifat-sifat dasar manusia tidak pernah berubah. Selalu saja begitu sejak penciptaan manusia yang pertama. Kebutuhan dasar mereka tidak ada ubahnya. Begitu pun kegiatan mereka, tidak jauh-jauh dari berburu makanan dan mencari pasangan. Uang? Pekerjaan? Pendidikan? Jelas untuk makan bukan? Pasangan? Jawabannya sudah jelas.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan selalu dibutuhkan. Meskipun untuk alasan yang paling remeh sekalipun, yaitu keingintahuan dan kebaruan. Kita selalu mempertanyakan kejadian-kejadian di sekitar, terutama nasib yang menimpa kita. Kita pun sering mengalami kebosanan, terutama dengan pekerjaan rutinitas yang mulai samar dampaknya, kecuali bila kita melihat atau mendengar kembali manfaatnya lewat mulut orang lain. Teknologi dan ilmu pengetahuan membantu menjawab pertanyaan kita satu per satu, membuka wawasan kita lebih luas. Barangkali dari zaman nenek moyang kita berlaut, masalah yang berhubungan dengan mental—yang saat ini sering dikaitkan dengan generasi Z—sudah menjadi masalah yang besar, sayangnya kemajuan zaman belum memungkinkan untuk mengenali dan mengobatinya. Begitu pula dengan masalah wabah penyakit yang menahun.

Sementara itu, saya pernah mendengar di salah satu rumah sakit—bisa juga di banyak tempat lainnya—di Arab Saudi, setiap calon pasien akan didorong untuk melaksanakan salat sebelum melanjutkan pengobatannya. Ketika penyakitnya tetiba sembuh atau dirasa membaik setelah melakukan salat taubat, teknologi dan ilmu pengetahuan mana lagi yang masih diperlukan? Tentu saja tidak selalu semudah itu. Pada salah satu kesempatan, dosen saya pernah bercerita di depan kelas bahwa anak perempuannya sempat tidak sembuh-sembuh setelah dibawa ke banyak dokter. Dalam kunjungannya yang terakhir kepada salah satu dokter anak senior, beliau menyarankan agar putrinya makan lebih banyak. Alhasil anak perempuannya bisa sembuh dengan sendirinya. Sungguh menarik, ya?

Bagaimanapun pertanyaan apakah manusia benar-benar memerlukan kemajuan teknologi adalah pertanyaan yang sama sekali tidak benar dan tidak pernah relevan sepanjang sejarah. Kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa disetop dengan cara apapun, namun juga tidak bisa dipercepat dengan cara apapun. Sama sekali tidak masuk akal kemunculan teknologi komputer di zaman perunggu dan sama sekali tidak masuk akal menahan zaman batu besar lebih lama. Sementara itu pula kemajuan teknologi tidak pernah tidak membawa manfaat yang besar, juga tidak pernah tidak membawa petaka yang besar.